Aku terbangun.
Kereta sudah
mencapai kota Jogyakarta. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Para penumpang
segera bergegas menuju pintu keluar.
Termasuk dua penumpang di depanku, sepasang Lansia yang tadi membuatku
terbawa perasaan.
Dengan langkah
malas-malasan aku mulai keluar dari kereta.
Hawa kota Yogyakarta terasa segar
menyentuh pipi, hidung dan daguku. Ah,
andai saja bukan angin yang menyentuh tubuhku kali ini, pasti akan terasa
membahagiakan kalbuku. Andai saja ADI yang menjemputku, betapa sempurna kisahku
kali ini. But …
Wake up, Love!
Tak ada yang
kau harapkan di kota ini. Kota ini
bukanlah kota pelarian jiwa. Kota ini
bukanlah tempat kau membuang segala sampah-sampah permasalahan yang tengah
membelitmu. Kota ini bukanlah kota
dimana ada hati yang sedang kau tuju. Kau
pria tua yang kesepian, kan LOV!
C’mon, kau
akui saja.
Kau sudah tua.
Kau sudah
renta.
Kau sudah
lelah.
Bisamu hanya
merana.
Ya, selamat merana
di kota ini, LOV!
*
Aku duduk
sejenak di kursi penumpang. Ku otak atik hapeku. Siapa tahu
ada teman yang bisa kuhubungi di sini?
Kucoba membuka grindr. Siapa tahu
ada lelaki gay yang pernah aku kenal.
Setahuku ada beberapa temanku yang merantau ke kota ini. Nyatanya tak ada yang kukenali di sini. Yang muncul adalah wajah-wajah tampan dan
kekar dengan tarif yang pasti mencekik leher.
Ah, aku sedang
tak butuh kucing.
Pelayanan
kucing bukanlah solusiku saat ini. Sebaiknya
aku sendiri saja, membunuh sepi dengan
banyak merenung, banyak bersyukur dan mengingat kebaikan-kebaikan
Tuhan. Sesungguhnya saya sadar
sesadar-sadarnya bahwa hanya dengan mengingat Tuhanlah hati kita menjadi
tenang.
Berkahi saya
Tuhan.
Beri saya
kekuatan.
Beri saya
keimanan.
Beri saya
kemampuan untuk hidup.
Beri saya
keteguhan menjalani hari-hari ke depan.
Dan lagi-lagi aku
harus mengusap air mata.
Kucoba
mengusir sepi dengan memutar lagu untuk
menenangkan hatiku. Yang tertuju malah
lagu-lagu Coldplay yang bernuansa gelap.
Membuatku hatiku kian gelap.
Hitam. Gelap. Suram. Entah kenapa
kota Yogyakarta jadi sesuram ini.
Hoam.
Aku mulai
mengantuk dan aku memutuskan untuk segera menginap saja di penginapan yang
bertebaran di dekat-dekat stasiun. Aku
mulai browsing. Mencari hotel-hotel
dengan harga murah. Toh aku hanya akan
meletakkan tasku, mandi, buka tasku, merokok dan mulai merenung sepanjang
malam. Hingga pagi, mungkin.
“Bade ten
pundi pak?” sapa seseorang mengagetkanku.
Lelaki muda
berseragam biru tua tiba-tiba saja ada di dekatku. Mungkin dia Hansip, Kamra, Tukang Parkir atau
Pol PP dan sejenisnya. Tubuhnya tinggi,
agak gempal dengan senyum yang garing.
“Anu mas. Mau
nyari hotel”
“Dereng
bukingan to Pak?”
“Dereng, mas.
Maaf, mas kerja disini?”
“Kulo nyambi,
pak. Niki wau saking kantor”
“Maaf, kalau gak keberatan, mas bisa nganter saya?”
“Kemana pak?”
“Nyari hotel
murah. Tahu tempatnya?”
“Nggih pak.
Tapi bensine di ganti nggih”
“Beres, mas”
Kami segera
berjalan beriringan. Dia mengenalkan
diri sebagai Kunto. Pekerjaannya
sekuriti, anaknya dua, istrinya satu dan tinggal di desa.
“Sak niki
susah pak. Nopo-nopo mahal”
“Lha enggih to
mas. Sami mawon”
“Pak-e saking
pundi?”
“Aku arek
suroboyo mas …”
“Oh bonek
nggeh, pak?”
“hahaha nggak
suka bola itu mas”
“Lah. Kulo
kinten seneng bola”
“Iyo. Bola sing
lain, mas …” kataku menggodanya.
Ya Allah … secepat
itukah caramu menggoda lelaki, LOV?
Kemana cinta yang baru saja kau tebarkan pada ADI? Menguap begitu saja?
Terbawa angin sepoi-sepoi kota penuh
nostalgia ini? Hah dasar lelaki jalang!
“Nyipeng ten mriko
mawon, mas”
“Endi to mase?
Ora onok hotel ngono. Gelap”
“Enggih. Niku
kos-kosan kulo”
“Lho, aku
minta nginep di hotel saja mas”
“Mboten
nopo-nopo pak. Kos ku lagi sepi kog”
“Wah aku nggak
enak mas”
“Mboten menopo
pak. Sante kemawon”
ADUH!
Aku merasa tak
enak hati. Aku tak mau merepotkan
siapapun. Aku ingin mandiri, aku ingin sendiri, aku ingin merenung dengan
tenang, aku ingin santai dan melupakan kesedihan-kesedihan yang tengah
kutanggung saat ini. Nobody know how sad
I am. They just know I’m happy person.
Kunto
menghentikan sepeda motornya di depan sebuah rumah yang sepi dan tak
berpenghuni. Tak ada lampu yang menyala
sama sekali. Pekarangan rumahnya luas dengan dipagari daun-daun luntas yang
tertata rapi. Bau daun luntas dengan bunga
semak membuatku merinding. Ini bau genderuwo. Hantu lelaki yang biasa
memperdaya para gadis dan janda-janda.
Aku khawatir
saja kalau Kunto ini penjelmaan dedemit setasiun yogyakarta.
Kupegang bahu
Kunto,”mas aku wedhi”
“hahaha aku dudu hantu, pak”
Astaghfirullah.
Kenapa juga
matanya yang sipit kayak China, tiba tiba saja berubah menjadi lebar dan
hitam. Apa pandangan mataku yang salah
ya? Aku mengamati kaki Kunto. Tak kelihatan. Kakinya seperti melayang. Tak ada lapisan kulit yang terlihat. Bulu kudukku berdiri.
“Masuk, pas”
Aku melangkah
dengan ragu. Kunto menyalakan saklar
lampu yang ada di sebelah kanan pintu. BLARRR … semua jadi tampak terang
benderang. Hahaha mata Kunto memang
sipit. Mirip peranakan China-Jawa. Tadi
terlihat hitam dan lebar karena efek topi sekuriti yang dipakainya. Asem tenan.
Aku duduk di
kursi jati kuno.
Kunto duduk di
sebelahku dan mulai melepas sepatu dinasnya.
La ilaha ilallah … nyatanya dia memang manusia sejati, bukan dedemit
seperti dugaanku. Tadi kulit kakinya
terlapi oleh kaos kaki hitam yang menjulur panjang dari mata kaki hingga atas
betis.
Aku mulai
bernapas lega.
“Mas … lapor
pak RT dulu ya”
“Buat apa?”
“Lho tadi aku
baca, penumpang yang bermalam harus lapor 1 kali 24 jam harus melapor”
“Oh itu, pak.
Iya itu kalau laki-perempuan, pak”
“Begitu?”
“Iya”
“Alhamdulillah”
Kunto
menunjukkan kamar tempatku tidur. Ruangannya tak terlalu luas memang. Mungkin sekitar 2 kali 3 meter saja. Tak ada AC.
Tak ada shower. Tak ada TV. Tak ada sudut ruang yang cantik. Busyet!
Ini bukan hotel, dodol! Udah
dikasih tumpangan saja alhamdulillah, kan!
Masak berharap yang bukan-bukan?
“Mas enggak
mandi?”
“Adhem mas”
“Tak godokno
banyu panas yo, Pak?”
“Lha banyu
panas kog di godok?”
HAHAHAHAHA …
Aku memutuskan
untuk mandi dengan air dingin saja.
Sepertinya aku masih kuat kog mandi dengan air dingin di malam
hari. Lha wong di Kota Malang yang
dingin saja aku biasa mandi dengan air dingin di tengah malam buta!
Ya iyalah,
kalau habis junub masak kagak mandi besar?
Dosa atuh!
“Sampun pak …,”
kata Kunto mempersilakan aku masuk ke dalam kamar mandi.
OH MY GOD … OH
MY LORD!
Tanpa
malu-malu, Kunto keluar dengan bertelanjang bulat. Hanya ada handuk kecil yang dipakainya
mengeringkan kulit basahnya di sana sini.
Bener-bener tak sopan. Sekuriti
kurang ajar!
“mas kunto ..
aduh …”
“kenapa pak?’
“Itu asli mas?”
“Apa?”
“Itu”
“Oh … ini?”
Kunto tak
segan menunjukkan seluruh penisnya. Belum tegak memang, namun tampak hitam, besar
dan panjang. Batang penisnya menggantung
dengan manjanya di atas dua telurnya yang nampak seimbang.
FUCK!
Aku tercekat.
Aku lemas.
Tulangku luluh
lantak.
Itu bukan
penis.
ITU MONSTER.
Nb : Hey semuanya salam kenal... saya adalah penggemar cerita serial gay di indonesia. jika kalian pernah mengikuti serial seperti Cowok Rasa Apel yang sekarang sudah sampai ke sesi ke tiga... saya ingin menyarankan sebuah serial berjudul pelepasan yang mungkin lebih terkesan dewasa dan apa adanya, saya memang baru membaca sampai ke episode ke 8 (atau remah ke 8- jika mengambil istilah dari blog tersebut) tapi menurut saya kisah yang ditulis di sana cukup mengesankan dan menjanjikan untuk diikuti kelanjutannya.
salam. lelaki Jogja. http://triztanfamous.blogspot.co.id/2016/05/pelepasan-bab-1.html
Nb : Hey semuanya salam kenal... saya adalah penggemar cerita serial gay di indonesia. jika kalian pernah mengikuti serial seperti Cowok Rasa Apel yang sekarang sudah sampai ke sesi ke tiga... saya ingin menyarankan sebuah serial berjudul pelepasan yang mungkin lebih terkesan dewasa dan apa adanya, saya memang baru membaca sampai ke episode ke 8 (atau remah ke 8- jika mengambil istilah dari blog tersebut) tapi menurut saya kisah yang ditulis di sana cukup mengesankan dan menjanjikan untuk diikuti kelanjutannya.
salam. lelaki Jogja. http://triztanfamous.blogspot.co.id/2016/05/pelepasan-bab-1.html
No comments:
Post a Comment